Minggu, 28 Juli 2013

Teroris VS Jihad

TERORIS VS JIHAD
Oleh : KH. Abdulloh Hasyim, Lc., S.Pd.I
Ketua Yayasan Daruttauhid Al-Hasaniyyah

Secara etimologi Jihad berasal dari Al-jahdu yang berarti kesulitan atau dari kata Al-Juhdu yang berarti kemampuan dan kekuatan. Asal kata ini menemui korelasinya dengan definisi jihad yang telah didefinisikan oleh Imam Madzhab, diantaranya :
Hanafiyyah mengatakan : mengerahkan segala daya dan kemampuan untuk mensyiarkan agama Allah baik mengorbankan nyawa, harta dan lisan.
Malikiyyah mendefinisikan : Memerangi orang kafir yang tidak berkomitmen dengan islam demi menegakkan agama Allah.

Dari definisi diatas bisa disimpulkan bahwa Jihad mempunyai dua pengertian :
Jihad ‘am (secara Umum) yaitu : upaya menegakkan agama Allah baik dengan pengorbanan jiwa, harta, lisan, dll.
Dengan kata lain jihad tidak diasumsikan hanya pada Qital (memerangi non Muslim), tetapi juga pada media-media jihad yang tersubstansikan pada penegakan agama Allah, sebagaimana Nabi bersabda :
المجاهد من جاهد نفسه فى طاعة الله (احرجه احمد)

Artinya : “Mujtahid adalah Mereka yang mampu mendedikasikan dirinya untuk senantiasa taat kepada Allah”.
"افضل الجهاد كلمة حق عند سلطان جائر"(رواه الديلمى)
Artinya : “Jihad yang paling baik adalah mengatakan kebenaran dihadapan penguasa yang dholim”.
Jihad Khos, yaitu : mengorbankan diri untuk memerangi non Muslim.

Berawal dari pemahaman jihad diatas, metodologi mensyiarkan islam atau menegakkan agama Allah terbagi menjadi dua yaitu :
Menempuh media-media dakwah dengan melihat tingkat efektivitasnya semisal mencerdaskan umat islam dengan memperbanyak sarana-sarana pendidikan, pencerahan pemahaman tentang islam yang kontekstual, dll.
Kelompok ini didalam menyikapi evolusi waktu selalu dinamis sesuai dengan kebutuhan dan tingkat keefektivan dan islam lebih terkesan progresif [1] dan fleksibel [2] . Paham ini diikuti oleh mayoritas umat Islam.

Jihad dalam pemahaman “Qital” sebagai satu-satunya dakwah yang efektif dan disyariatkan Al-qur’an      (tentunya dalam interpretasi [3] subyektif) biasanya kelompok ini cenderung frontal dan vulgar dalam melakukan dakwahnya yang dianut oleh mereka.
Aliran ini yang disebut Fundamentalis ini begitu kuat memegang keontetikan teks Al-Qur’an (ayat-ayat yang menfirmankan jihad, tentunya dari sudut pandang mereka) tanpa ada reserve [4] dan melihat dampak negative yang ditimbulkan.
Cara pandang ini oleh Ernest Gellner  diklasifikasikan sebagai high tradition yang memahami agama secara skripturalis [5], puritan, dan harfiah.
Melihat fenomena tersebut, perlu kiranya penjelasan jihad secara komprehensif, sehingga dalam implementasinya tidak dipahami secara persial yang pada akhirnya umat islam terjebak pada pola dan konsep memperjuangkan agama Allah yang tidak efektif bahkan cenderung  merugikan eksistensi islam sebagai rohmatan lil ‘alamin.
Prof. Dr. Sa’id Romdlon al-buthi dalam bukunya Al-Jihad fil Islam mengatakan : Jihad dengan berbagai variabelnya merupakan metode-metode dakwah yang diserukan Allah dalam surat An-Nahl ayat 125 :

Artinya :“ Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan peljaran yang baik dan bantahlah mereka dengan baik”

Ketika jihad sebagai media untuk mendakwahkan agama Allah, dimana prinsip dakwah termaktub dalam Al-Qur’an :             "بالحكمة والموعظة الحسنة" dengan sendirinya jihad harus terasumsikan pada media dakwah yang efektiv dan terhindarkan dari kekerasan.

Ibnu Rusyd dalam kitab Muqoddimahnya mengklasifikasikan jihad menjadi 4 yaitu :
Jihad Bil Qolbi                                                                                                      3. Jihad bil yad                     
Jihad bil lisan                                                                                                        4. Jihad bis saifi

1.       Jihad bil Qolbi adalah usaha dan upaya menyucikan hati dari unsur-unsur yang menjauhkannya dari ketaatan kepada Allah.
Nabi bersabda :
  المجاهد من جاهد نفسه فى طاعة الله الدين (احرجه احمد)
2.       Jihad bil Lisan adalah menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
Allah berfirman :
ولتكن منكم امة يدعون الى الخيرويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكروأولئك هم المفلحون (ال عمران)
Artinya : “Dan hendaklah diantara kamu ada segolongan orang yang menyeru kebajikan, menyuruh yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung”
3.       Jihad bil yad adalah memerangi bughot (kelompok yang tidak patuh dan berupaya mengkudeta pemerintah yang sah), orang-orang yang berbuat dholim.
4.       Jihad bis saifi adalah memerangi orang-orang kafir dan munafiq.
Allah berfirman :
يَا أيّها النّبي جاهد الكُفار والمنافقين وأغلظ عليهم (التوبة :3)
 “Wahai Nabi ! berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafiq, dan bersikap keraslah terhadap mereka”


[1]  Progresif : ke arah kemajuan
[2]  Fleksibel : luwes; mudah dan cepat menyesuaikan diri
[3]  Interpretasi : pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoretis terhadap sesuatu; tafsiran.
[4]  Reserve : cadangan; serap;  syarat.
[5] Skripturalis : naskah atau tektual ; Puritan : orang yang hidup shaleh dan yang menganggap kemewahan dan kesenangan sebagai dosa

Al-Bouuthi dan An-Nawawy menggaris bawahi :

Dalam pendekatan dakwah yang diprioritaskan adalah mendakwahkan islam secara persuasive [1] dengan menjelaskan argument-argument yang diperlukan, amar ma’ruf nahi munkar, menciptakan media-media masa yang dibutuhkan umat baik dari aspek agama, dunia, jasmani, dan materi, sebab kehidupan duniawi dan akhirot tidak bisa lepas dari hal tersebut.[2]
Catatan keduanya menjelaskan bahwa metodologi dakwah harus berdasarkan konsep-konsep Qur’ani yaitu fleksibel, toleran, berlapang dada dan tidak bisa memaksakan kehendak, bukankah Allah berfirman :
لااكره فى الدين (البقرة : 256)
“Tidak ada paksaan dalam menganut agama islam”
Tesis ini diperkuat dengan turunnya ayat-ayat yang menjelaskan konsep dakwah dengan ta’rif (penjelasan tentang islam),Tadzkir (mengingatkan), nasihat,dan anehnya ayat-ayat tersebut merupakan ayat madaniyyah (yang diturunkan setelah Nabi hijroh) dimasa kelompok fundamentalis mengklaim bahwa pensyari’atan jihad dengan Qital setelah Nabi hijroh. Diantaranya :

“ …Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya engkau (Muhamad) hanyalah pemberi peringatan. Engkau bukanlah penguasa atas mereka kecuali jika ada yang berpaling dan kafir”

“  Jika mereka berpaling, maka (ingatlah) kami tidak mengutus engkau sebagai pengawas bagi mereka, kewajibanmu tidak lain hanyalah penyampai risalah”

“jika kamu berpaling maka ketahuilah bahwa kewajiban rosul kami hanyalah menyampaikan amanat yang jelas”

Fakta histories juga menguatkan metode dakwah seperti ini, diriwayatkan oleh Ibnu abi hatim dengan sanadnya sampai pada pembantu uamar bin khottob. Dikisahkan suatu ketika umar menyerukan kepada saya untuk memeluk agama islam, dimana saya seorang nashroni dan akhirnya seruan itu saya tolak.
Lalu beliau berkata : لااكراه فى الدين
Dalil di atas membuktikan bahwa Nabi Muhammad tidak serta merta menitahkan doktrin jihad/ Qital disaat dakwah beliau tidak mendapat respon positif. Padahal pada saat itu Nabi sudah mempunyai kekuatan yang terstruktur dalam periode Madinah. Mungkin itu logis bila beliau masih di Makah, Karena diperiode itu Nabi belum mempunyai negara dan pemerintahan.
Dengan kata lain jihad tidak bisa terimplementasikan pada satu pemahaman yaitu Qital, meskipun Qital ada dalam islam tapi itu opsi terakhir dan harus memenuhi kriteria-kriteria diberlakunya Qital. Dan satu hal, Qital bukan berarti mengobarkan semangat perang yang menggunakan pola-pola Destruktif [3] dan jatuhnya korban dari Abriya’ (Masyarakat sipil)
Sebab qital bukanlah padanan dari Qotl yang berarti membunuh. Tapi dari قاتل yang berarti pertempuran yang terjadi dari kedua belah pihak. Lebih jelasnya, Prof. DR. Sa’id Romdlon mendefinisikan sebagai :  “Sebuah upaya untuk mendakwahkan islam untuk beriman atas keesaan Allah meskipun pada akhirnya untuk mencegah mereka yang menghalang-halangi islam dengan menggunakan qital”.[4]
 Analisis : mengusung semangat islam tidak hanya agama pribadi (private religion ) tapi juga agama public (public religion) maka sudah semestinya tidak hanya concern dengan persoalan ritual- Personal tapi juga pada persoalan-persoalan social dengan tatanan dan system islam pada umumnya.
Semangat ini bisa pada level kenyataan ketika Nabi Muhammad sang suritauladan kita jadikan panutan dalam mendakwahkan dan menablighkan risalah selama 13 tahun dengan cara yang arif,  bijaksana dan sabar dengan menyosialisasikan islam pada pemahaman dan keterangan –keterangan yang jelas.
Kesabaran Nabi terbukti di saat menyerukan penduduk Tho’if untuk memeluk islam,dan Beliau mendapat perlakuan yang mengenaskan dengan dilempar batu disaat sahabat-sahabatnya meminta beliau untuk mendoakan jelek,beliau menolak bahkan berdoa kepada Allah agar mereka diberi petunjuk dan ada yang beriman, dan metode dakwah Nabi pada periode mekah,oleh Allah disebut jihad.

Dalam surat Al-Furqon Ayat 52 Allah berfirman.

 “Maka janganlah engkau taati orang-orang kafir,dan berjuanglah terhadap mereka dengannya (Al Quran) dengan semangat perjuangan yang benar”.

Ayat ini makiyyah,yang dengan sendirinya mengakui metode dakwah Nabi yang persuasif sebagai jihad.
Adapun sanggahan kelompok fundamentalis bahwa tidak berjihadnya Nabi karena periode makah komunitas islam masih sedikit dan ada pihak yang lemah  tidak bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiyah karena dua hal  :

1). Allah menjanjikan kemenangan kelompok kecil dengan seizinnya.
           Logikanya jika Allah pada periode makkah mensyariatkan qital niscaya kwantitas muslimin tidak menjadi halangan untuk melakukan jihad atau qital.
Allah berfirman :
 “Betapa banyak kelompok kecil mengalahkan kelompok besar dengan izin Allah“Dan Allah beserta orang-orang yang sabar”
2). Nabi doanya mustajab
          Seandainya Nabi menghendaki,  beliau akan mendoakan jelek kepada orang-orang kafir.

Konklusinya :
1.       Jihad dengan asumsi Qital bukanlah opsi yang utama untuk mendakwahkan agama Allah, bahkan qital di syariatkan bukan karena status kafir pada non Muslim, tetapi lebih pada Hirobah (yaitu belum terjadinya komitmen perdamaian antara pihak muslim dan non muslim) dalam arti kalau sudah ada komitmen dua pihak, maka tidak boleh melakukan qital dan bisa hidup berdampingan atas azas toleransi antar umat beragama.
Allah berfirman :
لا ينهاكم الله عن الذين لم يقاتلوكم ولم يخرجوكم من ديارهم أن تبرّوهم وتقسطوا إليهم، أنّ الله يحبّ المقسطين 
(الممتحنة :)

“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil”

2.      Substansi jihad pada ektivitas dakwah yang terukur, dalam arti umat islam harus punya konsep, strategi, media untuk sosialisasi islam yang berujung respon positif. Buktinya baik sebelum atau sesudah hijroh Nabi diperintahkan Allah untuk melakukan dakwah dengan penjelasan yang detail, fleksibel, bijaksana dan sabar.
3.       Dalam konteks keindonesiaan apa yang dilakukan sekelompok orang dengan peledakan bunuh diri diberbagai daerah yang mengatasnamakan jihad itu sudah keluar dari substansi jihad itu sendiri, selain tidak memenuhi syarat jihad yang diantaranya tidak ada komando dari pemimpin Negara islam dan melukai abriya’ (masyarakat sipil)

 
Doktrin jihad qital senantiasa menemukan simpatisannya. Terbukti gerakan fundamentalis[5] bisa melakukan rekrutmen anggota baru yang sudah semestinya ada doktrin yang kuat dengan menggunakan nash-nash yang diinterpretasikan secara subyektif oleh mereka. Terlepas dari benar dan salahnya doktrin tersebut, faktualnya kaderisasi mereka sukses dan mereka siap menjadi mortar  untuk sebuah misi yang mereka anggap sebagai jihad dan mereka yakin tadhiyyatu al-nafsi (menjadi mortir) merupakan cara yang diridhoi Allah dan menjadikannya sebagai syahid (orang yang meninggal dunia baik dibunuh atau bunuh diri dalam rangka memerangi non muslim) sebuah derajat yang sangat mulia dan menjadi dambaan setiap muslim. Repotnya doktrin-doktrin ini jarang diulas atau dikaji oleh intelektual muslim, sehingga disaat momentum peledakan terjadi, mereka disibukkan oleh sikap punitive (menghakimi) bahwa itu perbuatan yang salah, sesat, dsb tanpa adanya tabayyun (klarifikasi) dan telaah atas nash-nash yang digunakan mereka untuk melakukan tindakan tersebut

[1]  Persuasif : bersifat membujuk secara halus (supaya menjadi yakin)
[2]  Ibnu Rusydi, Al-Muqoddimah, maktabah El-Mutsanna.
[3] Destruktif : merusak, memusnahkan, atau menghancurkan
[4] Al-buthi, Al-jihad fil islam, Daru Al-fikr hal. 57.
[5]  Fundamentalis : penganut gerakan keagamaan yang bersifat kolot dan reaksioner yang selalu merasa perlu kembali ke ajaran agama yang asli seperti yang tersurat di dalam kitab suci.