ISLAM DAN AKULTURASI
Oleh
: KH. Abdulloh Hasyim, S.Pd.I
Telah
diseminarkan di PP. MIS Sarang Rembang
Tgl. 04 Februari 2012
Islam secara teologis merupakan sistem Nabi dan ajaran yang bersifat Ilahiyyah
dan transenden, yaitu ajaran yang membawa kemaslahatan bagi manusia di
dunia. Dalam surat Thoha ayat 2 Allah berfirman :
ماَ أَنْزَلْناَ عَلَيكَ القُرْأنَ لِتَشْقَى
Artinya Allah menjamin kepada siapapun yang patuh atas
agamanya akan mendapatkan kebahagiaan dan kesejahteraan. Sebaliknya, siapapun
yang membangkang dan mengingkari, niscaya ia akan mengalami kehidupan yang
penuh penderitaan.
Islam sebagai agama yang
termanifestasikan dalam bentuk ritual dan juga dalam struktur sosial kultural
yang keduanya tercover dalam ajaran yang universal dan komprehensif.
Pergulatan agama dan budaya dari awal kelahiran Islam
tidak bisa dipisahkan. Realitas tersebut (relasi Islam dan Budaya ) memiliki
peran yang signifikan didalam mengantarkan Islam pada suatu peradaban yang
diakui oleh masyarakat internasional.
Aktualisasi Islam dalam perkembangan sejarah tidak bisa
dipisahkan aspek lokalitas dengan karakteristiknya. Dari sini Islam menemui
momentumnya sebagai agama yang menerapkan tatanan dan aturan Ilahiyyah yang
memberi batasan kepada pemeluknya didalam mengimplemen-tasikan ajaran tersebut dalam semua aspek kehidupan.
Hakikat Kebudayaan
Kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin
manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat.
Ahli antropologi mengatakan kebudayaan sebagai tata hidup
(Way of Life) dan kelakuan.
Erns Cassiner membagi kebudayaan menjadi lima jenis :
1 1. Kehidupan spiritual
2 2. Bahasa dan Sastra
3. Kesenian
4 4. Sejarah
5 5. Ilmu Pengetahuan
Kehidupan spiritual meliputi : kebudayaan fisik (candi, patung,
arsitektur), peralatan (pakaian, makam, alat upacara), sistem sosial
(kelahiran, pernikahan, kematian).
Bahasa dan sastra meliputi : bahasa daerah, pantun, syair, dan novel.
Seni meliputi : visual, arts dan performing arts. Yaitu seni rupa
(lukisan), dan seni pertunjukkan (tari, musik), Seni Teater
(wayang), arsitektur, dll.
Relasi Islam
dan Budaya
Pribumisasi Islam sebagai media dakwah yang
efektif oleh Wali Songo di Jawa pada abad ke 15-16. Mereka mengakomodasikan
Islam sebagai ajaran Agama yang mengalami historisasi dengan kebudayaan.
Contoh, Sunan Bonang menggubah gamelan Jawa yang sarat dengan estetika Hindu
menjadi nuansa dzikir yang bercorak
nuansa transendental. Tembang Tombo Ati adalah bukti riil karya beliau untuk
menyikapi kultur di masa itu.
Dalam pewayangan, beliau menyisipkan pesan-pesan Islam,
kisah Pandawa Kurawa diinterpretasikan antara nafi dan itsbat.
Sunan Kalijogo berpendapat bahwa masyarakat akan semakin
menjauh jika diserang pendiriannya dengan purifikasi. Beliaulah pencipta
Sekaten, Grebeg Maulud, Layang Kalimusada, dan landscape pusat kota dengan
Alon-Alon, beringin dan Masjid. Langkah itu ditempuh dengan keyakinan jika
mereka telah mendalami Islam dengan sendirinya akan meninggalkan
kebiasaan-kebiasaan lama.
Sementara Sunan Kudus dalam dakwahnya memanfaatkan
simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu bisa dilihat dari arsitektur Masjid
Kudus.
Itulah metodologi dakwah yang diwariskan oleh Wali Songo
dengan tidak melakukan purifikasi atau otentifikasi ajaran secara total,
melainkan melakukan adaptasi terhadap kondisi sosial terhadap kondisi sosial
masyarakat waktu itu. Sehingga tidak ada resistansi terhadap ajaran baru yang
masuk.
Dalam bukunya “The Religion of Java” Geertz mengatakan
“Islam tidak bergerak ke wilayah baru, melainkan ke salah satu wilayah bentukan
politik, estetika, religious dan sosial terbesar di Asia, yaitu kerajaan Hindu
dan Budha.”
Dengan kata lain, Islam tidak membuat konstruksi
peradaban baru, tetapi menyelaraskannya. Bagi masyarakat Jawa di masa itu,
Islam adalah tradisi asing yang dipeluk dan dibawa oleh saudagar melalui proses
asimilasi yang panjang dan toleransi budaya lokal, pada akhirnya Islam dapat
diterima.
Sejarah ini
terus bergerak dinamis dengan berbagai tantangannya termasuk penentangan
gerakan tersebut oleh kelompok Islam Otentik (memgembalikan islam pada
aslinya). Dengan demikian Gerakan “Akulturasi” akan menjadi pertarungan wacana
(discourse) dengan kelompok Islam Otentik.
TBC (Tahayyul, Bid’ah, Syirik)
Gerakan memurnikan syari’at islam menyerukan untuk menghilangkan
segala aktivitas dan ritual yang tidak ada pada Islam, artinya otentitas islam
hilang jika terkontaminasi oleh unsure luar. Islam Indonesia kehilangan nilai
aslinya semenjak mengakomodasi dan berakulturasi dengan budaya dan tuntunan
lokal, sehingga masuknya budaya lokal dipandang sebagai bid’ah.
Ernest Gellner mengklasifikasikan gerakan ini great tradition atau high
tradition, yang memandang agama secara tekstual, menurut aturan baku, dan skripturalis.
Dengan kata lain, Islam harus dalam track tradisi agung dan tidak pernah
mentolerir lahirnya tradisi kecil (litle tradition) yang terakomodir.
Gerakan ini diusung oleh Muhammad bin Abdul
Wahhab yang dilahirkan di ‘Uyainah bagian selatan kota Najd pada tahun 1703
M dan wafat pada tahun 1792 M. Ia mengaku sebagai penerus ajaran Ibnu
Taimiyyah, yaitu mengembalikan ajaran tauhid dan kehidupan murni menurut sunnah
Rasulullah.
Selanjutnya gerakan ini dikenal dengan nama
Wahabi (mereka menolak penamaan tersebut) atau gerakan salafi. Metodologi
tekstual yang digunakan merupakan pilihan yang sah dan ada sejak dulu dalam
khasanah keislaman. Masalahnya mereka menganggap pendapat mereka sebagai
kebenaran yang absolut dan tidak membuka ruang beda pendapat meskipun dalam
masalah ijtihadiyyah ( funu’). Ironisnya mereka membid’ahkan, mensyirikkan,
bahkan mengkafirkan kelompok yang tidak sejalan dengan pemikiran mereka.
Isu-isu yang dipolemikkan diantaranya adalah : ziarah kubur, maulidiyyah,
tawassul, nisfu sya’ban, haul, celana, tahlil, istighosah, dll. Arogansi mereka
dalam memaksakan mahdzab menjadikan adanya friksi diantara umat Islam dan
hilangnya sikap tasamuh yang menjadi inti dalam Islam itu sendiri.Faktanya
mereka menghancurkan peninggalan-peninggalan sejarah peradaban Islam di Makkah
dan Madinah.
Dr. Sami bin Muhsin, seorang pakar arsitektur
melakukan penelitian bertahun-tahun untuk meneliti tempat-tempat bersejarah.
Setelah berhasil, diserahkan kepada otoritas KSA. Tetapi justru penemuan itu
semakin memudahkan merekja untuk menghancurkan peninggalan-peninggalan sejarah.
Dia mengatakan, setidaknya 300 bangunan bersejarah dihancurkan sesuai maklumat
dewan keagaman, alasan mereka jelas peninggalan-peninggalan tersebut berpotensi
adanya praktek TBC.
Analisis
Islam mengakui eksistensi budaya dalam
masalah-masalah tertentu.
Firman Allah :
وَمَن يُشَاقِقِ
الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ
نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءتْ مَصِيرًا
Nabi Bersabda :
فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ. مسند أحمد
7 / 453
Dari sini lahirlah qo’idah fiqh : العدة
محكمة
Itupun dengan catatan bahwa : adat tersebut
tidak melanggar prinsip syari’at Islam.
Sebagai gambaran, budaya dalam Islam
terklasifikasikan menjadi tiga :
1.
Tidak melanggar
syari’at Islam, seperti, besar kecilnya mahar di daerah tertentu, bangunan
masjid dengan berbagai arsitektur.
2.
Kebudayaann
yang sebagian unsurnya bertentangan dengan Islam, kemudian di rekonstruksi
menjadi Islam. Seperti Thawaf dalam keadaan telanjang di rekonstruksi menjadi
Islami dengan menutupi aurat.
3.
Kebudayaan yang
bertentangan dengan Islam seperti upacara pembakaran mayit (ngaben) atau penyembelihan hewan yang dipersembahkan
untuk bangsa halus yang dianggap Baurekso di suatu daerah.
Dari tiga kategori diatas, tentunya nomor satu dan dua bisa terakomodasi
dalam Islam.
Bahan bacaan :
Sayyid Muhammad. 1990. Mafahim. Dar el-Fajr
J. Rahmat. 1986. Islam Alternatif. Mizan
P3M. 2004. Menggugat Tradisi. Kompas
Sayyid Muhammad. 1999. Qul Hadziqi Sabiili
Tidak ada komentar:
Posting Komentar